Christian Snouck Hurgronje (2)

by singalodaya

LANJUTAN

Snouck Hurgronje Alias Abdul Ghaffar?

Oleh H. ROSIHAN ANWAR

PROF. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) penasihat pemerintah
Hindia Belanda awal abad ke-20, terkenal di Aceh dan Pasundan, juga punya
nama Islam, Abdul Ghaffar. Betulkah dia seorang mualaf?
Tanggal 21 Februari 1885, Snouck tamatan Universitas Leiden berusia 28 tahun
mulai tinggal di Mekah selama enam bulan. Tujuannya, mempelajari Islam dari
para ulama Mekah dan mengumpulkan keterangan tentang jemaah haji dari Hindia
Belanda yang bermukim di sana.
seterusnya
Bagaimanakah Snouck sebagai seorang Nasrani bisa memasuki “tanah haram” dan
bersembahyang di Masjid Al-Haram? Jawaban yang diberikan ialah Snouck telah
memeluk agama Islam dan namanya menjadi Abdul Ghaffar. Namun, soal ini
menjadi bahan perdebatan di kalangan para sarjana Belanda.

Saya balik-balik lagi sebuah buku yang telah lama terbit dan lusuh
penampilannya berjudul Snouck Hurgronye en de Islam, berisi delapan tulisan
mengenai kehidupan dan karya seorang orientalis dari zaman kolonial, disusun
oleh P. Sj. van Koningsveld. Di situ dikatakan bahwa di mata gubernur Turki
(pada waktu itu, negeri Arab diperintah oleh sultan Turki), begitu juga di
mata Syarif Akbar Arab dan lingkungannya, kemudian bagi banyak ulama di
Mekah, Snouck adalah “seorang Belanda Muslim. Seorang sarjana yang datang ke
Mekah untuk belajar dan naik haji.”

Berdasarkan keterangan buku harian Snouck sewaktu di Jedah, Koningsveld
merekonstruksi bahwa upacara mengislamkan Snouck terjadi di hadapan Kadi
Jedah, dihadiri oleh dua orang saksi, tanggal 16 Januari 1885. Snouck
mengucapkan kalimat syahadat pada kesempatan itu.

Kenyataan Snouck sudah menjadi mualaf tidak disangkal oleh Wakil Konsul
Belanda di Jedah P.N. van der Chijs yang menulis surat kepada Snouck yang
masih berada di Mekah tanggal 3 Agustus 1885 dengan nama Abd Al-Ghaffar,
dengan catatan dari Chijs “Uw aangenomen nieuwe naam” (nama baru anda yang
telah diterima).

Bukti yang lain ialah sebuah foto dari arsip keluarga pengacara Jedah Abd
Ar-Rahman Nasif yang memperlihatkan Snouck ketika mengunjungi pejabat
gubernur Turki. Snouck yang duduk di baris depan memakai tutup kepala
tarboesj atau fez (seperti kopiah atau peci di Indonesia) dan dengan begitu
Snouck ingin menegaskan bahwa dia termasuk kelompok orang yang mengenakan
tarboesj dan memang tergolong “salah satu dari mereka”.

Di negeri Arab, waktu itu Snouck mengadakan hubungan erat dengan dua ulama
yang berasal dari Jawa Barat yaitu Raden Haji Aboebakar Djajadiningrat (dari
Pandeglang) dan Raden Haji Hasan Moestapha (dari Garut). Sekembalinya dari
Mekah dan setelah berada lagi di Leiden, Snouck mengadakan hubungan
surat-menyurat dengan ulama masyhur di Batavia yaitu Sayyid Oethman.

Telah disunat
Snouck kemudian menjabat sebagai penasihat pemerintah (Hindia Belanda) untuk
urusan Islam dari 1889 hingga 1906. Karena dianggap mualaf dan dengan
reputasinya sebagai sarjana teologi, Snouck ditemani oleh sahabat Sunda-nya
dari Mekah, Haji Hasan Moestapha, dengan mudah bisa berkeliling dan meninjau
pesantren-pesantren di Jawa. Di Aceh tahun 1891, Snouck berhasil memperoleh
kepercayaan dari ulama Tengkoe Noerdin.

Di Jawa Barat, Snouck alias Abdul Ghaffar dengan perantaraan Haji Hasan
Moestapha menikah dengan dua putri ulama terkenal. Jika dia tidak diakui
sebagai seorang Muslim, mustahil diizinkan menikah dengan gadis Sunda. Dia
memenuhi segala persyaratan dari Islam. “Dia telah disunat (besneden),
melakukan salat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menjauhi makanan serta
minuman yang terlarang” (hal. 146).

Kendati semua itu di pihak Belanda seperti kalangan para sarjana di Leiden,
kalangan pemerintah di Den Haag dan Batavia, kalangan pers kolonial Belanda
terdapat pendapat bahwa Snouck hanya “pura-pura jadi Muslim”. Snouck
dikatakan telah melakukan izhaarul-Islam. Artinya secara lahiriah bersikap
pura-pura jadi Muslim, padahal sebenarnya dalam batin sama sekali tidak.
Izhaarul-Islam adalah “veinzen van de Islam” (hal. 153).

Terhadap pendapat di atas tadi, Snouck tidak menyangkalnya secara tegas dan
katagoris. Dia berdiam diri. Mungkin atas pertimbangan tidak mau melibatkan
dirinya dalam polemik yang tiada putus-putusnya dan hanya menyulitkan
dirinya melakukan pekerjaannya sebagai pejabat pemerintah Hindia Belanda.

Snouck mempunyai dua istri orang Sunda. Yang pertama, bernama Sangkana dan
dari pernikahan ini lahir empat anak yaitu Ibrahim, Aminah, Salmah Emah, dan
Oemar. Yang kedua setelah Sangkana meninggal adalah Siti Sadijah yang
melahirkan seorang anak bernama Joesoef.

Dalam sebuah wawancara dengan Koningsveld, Raden Joesoef menceritakan dia
lahir tahun 1905 dari pernikahan kedua ayahnya, Snouck Hurgronje dengan Siti
Sadijah, putri penghulu Bandung Haji Muhammad Soe’eb yang meninggal tahun
1922. Snouck berusia 41 tahun dan Sadijah 13 tahun tatkala pernikahan
berlangsung tahun 1898.

Pada waktu Snouck meninggal tahun 1936, dia mewariskan kepada setiap anaknya
uang yang sama banyaknya yaitu 5.000 gulden. Snouck memang benar telah
merahasiakan hubungan keluarganya di Indonesia. Ketika meninggalkan
Indonesia tahun 1906, dia menegaskan betul kepada istrinya supaya anaknya
jangan menggunakan nama Snouck Hurgronje. Maka tatkala Joesoef masuk
sekolah, dia menggunakan nama kakeknya Haji Muhammad Soe`eb sebagai nama
ayahnya walaupun teman-teman sekelasnya tahu dia sesungguhnya adalah putra
Snouck Hurgronje.

Raden Joesoef kemudian menjadi Komisaris Besar Polisi. Itulah sekelumit
sejarah yang saya sampaikan kepada generasi muda, barangkali minat mereka
tumbuh untuk membaca dan mengenal sejarah kita.***

Tags:

Leave a comment